ads
Memahami Potensi Gempa Megathrust

Memahami Potensi Gempa Megathrust

Smallest Font
Largest Font

Beritadata - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mendeteksi gempa berkekuatan 5,8 magnitudo yang mengguncang Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Senin malam (26/8). Gempa yang berjarak 95 km dari barat daya Gunung Kidul ini terjadi di tengah keramaian masyarakat mengenai gempa megathrust.

Gempa megathrust memang menjadi topik hangat belakangan ini, setelah BMKG menyatakan bahwa gempa dahsyat di Indonesia hanya tinggal menunggu waktu. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, saat menyebutkan kekhawatiran para ilmuwan Indonesia terkait seismic gap (kekosongan seismik) di Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Siberut.

Seismic gap adalah kekosongan aktivitas seismik dalam waktu yang sangat lama, umumnya lebih dari 30 tahun, sehingga menyimpan energi yang cukup besar. Seismic gap di Selat Sunda sudah berlangsung selama 267 tahun dan di Mentawai-Siberut selama 227 tahun, sementara segmen-segmen lainnya telah mengalami gempa. 

"Tugas saya adalah mengingatkan," kata Daryono.

Laporan mengenai potensi terjadinya Gempa Megathrust di Selat Sunda oleh BMKG, disebutkan bakal mampu memicu gempa bumi dengan tingkat yang dahsyat hingga maksimal M 8,7 dan di Mentawai-Siberut M 8,9.

“Pelepasan gempa di dua segmen megathrust ini bisa dikatakan ‘dalam waktu dekat’ karena kedua wilayah tersebut belum mengalami gempa besar selama ratusan tahun,” kata Daryono dalam pernyataan resminya, Minggu (11/8).

Kekhawatiran ilmuwan Indonesia akan gempa besar muncul setelah gempa berkekuatan 7,1 di Megathrust Nankai, Jepang Selatan pada 8 Agustus.

Peristiwa gempa bumi sendiri menjadi bencana alam yang cukup sering terjadi di wilayah Indonesia. Dari tahun 1907 hingga Agustus 2016, PusGEN mencatat lebih dari 51 ribu gempa telah terjadi di Indonesia dengan magnitudo di atas 4,5. Tahun 2023 lalu, Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah gempa bumi terbanyak dengan catatan 2.205 kejadian.

Alasan mengapa gempa sering terjadi di Indonesia adalah karena posisi Indonesia yang terletak di sepanjang jalur seismik bergerigi yang disebut cincin api Pasifik (Pacific Ring of Fire), seperti dilaporkan oleh Gov.uk.

Inilah sebabnya mengapa gempa bumi dan letusan gunung berapi sering terjadi, yang dapat menyebabkan potensi tsunami. Diketahui, wilayah Indonesia berada di tengah-tengah empat lempeng utama, yakni Lempeng Eurasia, Indo-Australia, Laut Filipina dan juga Pasifik. Ketika lempeng-lempeng ini saling mendorong, menarik, atau bergesekan, terjadi guncangan yang disebut gempa bumi. Fenomena ini juga sering meningkatkan aktivitas vulkanik yang berujung pada letusan gunung berapi.

Salah satu sumber gempa yang telah diidentifikasi dengan jelas adalah zona subduksi aktif (tempat satu lempeng tektonik menutup lempeng lainnya), yang terbesar di bagian barat hingga timur Indonesia, seperti yang tertulis dalam buku "Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017."

“Selain itu, sisa energi dari proses tabrakan antar lempeng akan menyebabkan patahan di daratan atau lautan di beberapa pulau dan laut di Indonesia,” tulis buku tersebut.

Sementara itu, mengenai gempa megathrust yang akhir-akhir ini menjadi sorotan, gempa ini biasanya terjadi di dasar laut, dan sepanjang zona subduksi tersebut. Tekanan akibat pergerakan lempeng yang telah terakumulasi selama ratusan tahun, kemudian dapat dilepaskan secara tiba-tiba dalam bentuk gempa dahsyat.

Antakan (2015) dalam penelitiannya yang berjudul *On the Origin of Mega-thrust Earthquakes* mengatakan bahwa gempa besar biasanya terjadi di sepanjang zona subduksi dengan magnitudo umumnya 8,5 atau lebih besar. Beberapa negara di dunia telah mengalami gempa bumi dahsyat, termasuk Chili dengan magnitudo 9,5 pada tahun 1960, Indonesia pada 2004 (9,2 SR), Chili pada 2010 (8,8 SR), dan Jepang pada 2011 (9,1 SR).

"Semuanya memicu tsunami yang kuat dan menimbulkan bahaya besar bagi masyarakat," jelasnya.

Pernyataan Daryono bahwa gempa megathrust di Indonesia hanya tinggal menunggu waktu memicu kehebohan di kalangan netizen. Hal ini wajar, seperti yang disebutkan sebelumnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan gempa karena dikelilingi oleh cincin api.

Belum lagi kenangan buruk tentang tsunami Aceh 2004, gempa Yogyakarta 2006, serta gempa dan tsunami Sulawesi 2018 yang masih membekas di benak masyarakat. Di tengah kekhawatiran masyarakat, BMKG mengatakan bahwa pembahasan mengenai potensi gempa megathrust bukanlah bentuk peringatan dini, yang seakan-akan akan terjadi dalam waktu dekat.

"Dikatakan bahwa itu hanya soal waktu karena segmen-segmen sumber gempa di sekitarnya telah melepaskan semua gempa besar, sementara Selat Sunda dan Mentawai-Siberut belum terjadi," jelas Daryono.

Bahkan, Daryono menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat dan akurat yang mampu memprediksi terjadinya gempa bumi, baik kapan, di mana, maupun seberapa kuat.

"Jadi, kita semua juga tidak tahu kapan gempa akan terjadi, meskipun kita mengetahui potensinya," lanjutnya, dikutip dari situs BMKG.

Pernyataan Daryono sejalan dengan penelitian Funiciello dan rekan-rekan pada tahun 2020 lalu, yang menyatakan bahwa gempa megathrust subduksi besar adalah gempa yang menunjukkan pola yang kompleks.

"Apakah gempa dapat diprediksi atau tidak, dapat dijawab dengan harapan di masa depan," tulisnya.

Namun, berkat kemajuan teknologi dan metode analisis data, para ilmuwan semakin dekat untuk mengungkap perilaku kompleks gempa ini. Mereka pun memberikan saran akan pentingnya deteksi sinyal awal, lewat pemantauan deformasi permukaan serta aktivitas seismik.

Sejalan dengan Daryono, Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nuraini Rahma Hanifa menyatakan bahwa tidak ada waktu pasti kapan gempa megathrust terjadi di Indonesia.

"Jika ada informasi tentang tanggal, bulan, dan tahun terjadinya gempa, dapat dipastikan itu adalah hoaks, tapi jika kejadian Megathrust memang ada. Itu bisa terjadi kapan saja, entah lima menit lagi atau 100 tahun lagi," kata Nuraini, mengutip Antara.

Tim Editor
Daisy Floren

Apa Reaksi Kamu?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow
ads
ads
ads