Kejanggalan Vonis Bebas Ronald Tannur, Ada Dugaan Intervensi
Beritadata - Majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memutuskan untuk membebaskan Gregorius Ronald Tannur, sebuah putusan yang mengundang kontroversi di kalangan masyarakat. Anak dari mantan anggota DPR RI dari PKB, Edward Tannur, awalnya dituntut oleh jaksa dengan hukuman 12 tahun penjara atas tuduhan pembunuhan kekasihnya, Dini Sera Afrianti (29), secara brutal.
Menurut laporan dari detikJatim pada Jumat (25/7), hakim berpendapat bahwa Ronald tidak terbukti melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap Dini hingga tewas. Padahal, dalam rekaman CCTV, terlihat Ronald melindas tubuh Dini dengan mobilnya.
"Terdakwa Gregorius Ronald Tannur, anak dari Ronald Tannur tersebut, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan pertama, kedua, dan ketiga. Membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan, memerintahkan terdakwa dibebaskan dari tahanan setelah putusan ini diucapkan, memberikan hak-hak terdakwa tentang hak dan martabatnya," ujar Ketua Majelis Hakim PN Surabaya, Erintuah Damanik, saat membacakan putusannya di Ruang Cakra PN Surabaya pada Rabu (24/7).
Putusan ini mengejutkan hampir seluruh pengunjung sidang yang hadir. Sebelumnya, jaksa menuntut Ronald dengan hukuman 12 tahun penjara serta ganti rugi kepada keluarga korban atau ahli waris sebesar Rp263,6 juta.
Insiden dugaan penganiayaan terhadap DSA yang juga kekasihnya ini terjadi saat keduanya minum bersama di tempat karaoke Blackhole KTV, Lenmarc Mall, Surabaya pada 3-4 Oktober 2023 lalu. Dalam rekonstruksi yang dilakukan oleh Polrestabes Surabaya, GRT diduga menendang, memukul kepala korban dengan botol minuman keras, hingga melindas sebagian tubuh korban dengan mobilnya.
Putusan Janggal
Fatahillah Akbar, pengamat hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM), juga mengaku terkejut dengan putusan tersebut. Menurutnya, bukti-bukti yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan seharusnya cukup untuk memperjelas peristiwa tersebut.
Dia mengungkapkan bahwa hasil visum menunjukkan adanya luka pada hati korban akibat benda tumpul. Selain itu, JPU juga menghadirkan bukti berupa bekas ban mobil Ronald yang melindas tubuh Dini. Namun, menurut Fatahillah, hakim hanya mengambil sebagian dari hasil visum dan tidak memperhatikan luka-luka akibat benda tumpul.
"Ini sangat aneh, kok bisa tidak terbukti," kata Fatahillah kepada CNNIndonesia.com, Jumat (25/7).
Fatahillah berpendapat bahwa setidaknya Ronald bisa dijerat dengan pasal penganiayaan berdasarkan hasil visum yang ada. Menurutnya, hasil visum tersebut paling tidak menunjukkan terpenuhinya unsur-unsur penganiayaan yang dilakukan Ronald terhadap Dini. Namun, PN Surabaya membebaskan Ronald dari pasal tersebut juga.
“Dengan adanya visum serta dakwaan yang berlapis, paling tidak itu akan kena pasal penganiayaan yang menyebabkan kematian. Sebab terdapat bukti terjadinya pemukulan dan sebagainya. Jadi aneh jika kemudian divonis bebas dan dianggap tidak terpenuhi,” terangnya.
Fatahillah berpendapat bahwa JPU sebenarnya sudah berusaha maksimal dengan menuntut pasal berlapis dan hukuman 12 tahun penjara. Ronald didakwa melanggar Pasal 338 KUHP atau Pasal 351 ayat (3) KUHP atau Pasal 359 KUHP dan 351 ayat (1) KUHP. Oleh karena itu, Fatahillah mendukung jaksa untuk mengajukan kasasi atas putusan PN Surabaya tersebut. Dia juga mendukung Komisi Yudisial (KY) untuk memeriksa para hakim atas putusan yang dianggap aneh ini.
“Dalam pandangan saya, hakim yang memutus ini patut untuk diperiksa. Sebab, kasus ini sebenarnya mudah, tapi malah diputus bebas,” lanjut Fatahillah.
Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, juga menganggap putusan PN Surabaya yang membebaskan Ronald Tannur adalah sesuatu yang janggal. Menurut Abdul, hakim bersikap parsial dan tidak mempertimbangkan sejumlah fakta yang ada.
"Hakim tidak mempertimbangkan visum yang menyatakan bahwa kematian akibat benda tumpul, sementara hakim menyatakan karena minuman alkohol. Begitu juga dengan pelindasan yang dilakukan terdakwa terhadap korban dengan menggunakan mobil," kata Abdul.
"Jadi banyak hal yang ganjil yang tidak dipertimbangkan hakim," tambahnya.
Abdul menegaskan bahwa KY harus memeriksa dengan cermat para hakim yang memutus, termasuk apakah ada intervensi dari luar yang mempengaruhi putusan tersebut. Jika terbukti ada intervensi, Abdul mendorong agar para hakim diberikan sanksi yang tegas.
“Saya tidak tahu, pengaruh intervensi seperti apa yang terjadi. Yang jelas KY wajib untuk memeriksa hakim dan juga memberikan sanksi. Apabila terbukti ada sesuatu, sebaiknya diberikan hukuman pemecatan serta dituntut pidana apabila memenuhi,” pungkas Abdul.
Apa Reaksi Kamu?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow